Minggu, 03 Agustus 2008

Rabu, 25 Juni 2008

Cara Efektif Menjadi Orangtua

Cara Efektif Menjadi Orangtua

Alhamdulillah, ini Kk Aim & Dd Iam kutip dari salah satu tulisan di www. gayahidupsehatonline.com

Tidak ada sekolah untuk orangtua. DR. Frieda Mangunsong, MEd, Psi, yang sudah memiliki tiga anak dengan rentang usia remaja hingga dewasa pun merasa harus terus belajar menjadi orangtua. Ini karena menurutnya, tidak semua teori psikologi bisa diterapkan.

Menjadi orangtua juga merupakan salah satu pekerjaan dengan job description yang rumit dan tidak jelas disertai tanggung jawab yang sangat besar. Untuk menjadi orangtua efektif, Anda harus terjun langsung dan belajar dari pengalaman.

Tanggung jawab orangtua memang sangat besar. Di tangan orangtua, masa depan anak ditentukan. Baik dalam hal kepribadian, sosialisasi, penyesuaian dan pengendalian diri, kemampuan berpikir, dan hal-hal lain yang kelak akan menentukan keberhasilan dan kemandirian anak. Juga keberhasilan anak saat mereka menjadi orangtua.

Meski demikian, Frieda memberikan 10 kiat menjadi orangtua yang efektif. Kiat ini dapat digunakan para orangtua yang dua-duanya bekerja agar bisa memanfaatkan waktu yang terbatas dengan anak secara efektif dan efisien, maupun orangtua yang salah satunya tidak bekerja.

Mengenali anak
Orangtua harus memperlakukan anak sesuai karakternya, pemalu, periang, dan lain sebagainya. Jangan paksa anak untuk menjalani karakter lain. Kenali pula perasaan anak saat ia sedang mengalami masalah. Hal ini bisa dilakukan dengan berempati pada anak. Yang tak kalah penting, orangtua mesti mengenali perkembangan anak sesuai usia.

Hargai perilaku baik anak
Orangtua perlu menerapkan positive parenting, yaitu menghargai perilaku baik sebanyak-banyaknya dan menghukum sesedikit mungkin. Sebaiknya, orangtua memberikan pujian terhadap semua hal baik yang dilakukan anak. Hendaknya pujian diberikan langsung, tanpa ditunda. “Jangan menunggu hingga anak melakukan hal yang spesial,” kata ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI ini.
Secara berkala, orangtua hendaknya memberikan sesuatu yang menyenangkan anak, misalnya memberi sesuatu yang disenangi anak bila ia melakukan tugasnya dengan baik atau menambah jangka waktu untuk mengembangkan perilaku baik.

Melibatkan anak
Anak termasuk dalam keluarga. Itu sebabnya, selalu libatkan anak dalam kegiatan dan keputusan keluarga. Contohnya, saat merencanakan liburan bersama. Anak juga perlu dilibatkan dalam tugas rumah sehari-hari yang tentu saja mesti disesuaikan dengan usianya.

Selalu mendekatkan diri dengan anak
“Gunakan setiap kesempatan untuk mendekatkan diri dengan anak,” ujar Frieda. Saat di perjalanan dan terjebak kemacetan, Anda bisa mengobrol lebih banyak dengan anak. Biasanya anak akan lebih terbuka dalam situasi seperti itu.
Kemudian saat menonton televisi, orangtua sebaiknya mendampingi anak. Gunakan kesempatan itu untuk menanamkan nilai-nilai padanya. Penanaman nilai-nilai baik ataupun buruk, penting atau tidak penting, pada anak juga bisa dilakukan saat Anda sedang berjalan bersama anak.

Sediakan waktu khusus
Berikan waktu khusus hanya berdua dengan anak. Bila anak lebih dari satu, sediakan waktu khusus secara bergiliran. Lalu, sediakan pula waktu untuk kegiatan bersama.

Tegakkan disiplin
Melakukan positive parenting bukan berarti Anda mendiamkan sesuatu yang salah yang dilakukan anak. Anak perlu belajar atas perilaku yang bisa diterima, sehingga pendisiplinan perlu diterapkan. Disiplin harus ditegakkan segera setelah perilaku yang tidak baik dilakukan.

Cara pendisiplinan yang disarankan Frieda adalah dengan teknik time out dan grounded, yang bisa efektif bila diterapkan dengan tepat. Time out bisa diberikan dengan mendiamkan anak atau orangtua tidak memberi reaksi apa-apa kepada anak. Tindakan ini merupakan respon orangtua atas perilaku anak yang tidak diinginkan. Pada saat itu orangtua bisa keluar ruangan dan anak berada di dalam ruangan. Anak juga bisa dijauhkan dari aktivitasnya.

Sementara untuk grounded, anak diharuskan menyelesaikan satu tugas untuk bisa mendapat kesenangannya lagi. Contohnya, bila anak suka menonton film Sponge Bob dan ia tidak mau mandi, orangtua bisa melakukan grounded. Kalau tidak mandi, tidak boleh menonton Sponge Bob. Setelah mandi, anak boleh keluar kamar dan menonton film tersebut.

Pendisiplinan ini perlu dilakukan secara konsisten dan harus selalu didasarkan pada perilaku anak. Teknik pendisiplinan yang sama juga perlu diterapkan bila anak melakukan perilaku yang sama lagi. Namun, orangtua sebaiknya tidak langsung memberikan sanksi apabila anak baru melakukan perilaku tidak baik pertama kali dan belum pernah diberitahu sebelumnya bahwa perilakunya itu buruk.

“Dan pastikan teknik pendisiplinan yang sama dilakukan oleh pasangan dan orang-orang di rumah saat orangtua tidak di rumah,” kata Frieda.

Panutan bagi anak
Anak adalah peniru ulung. Segala gerak-gerik orangtua akan ditirunya. Anak belajar cara beraksi terhadap berbagai hal melalui pengamatannya pada perilaku orangtua. Agar anak dapat menerapkan perilaku yang baik, orangtua mesti mencontohkannya terlebih dulu dalam kehidupan sehari-hari.

Say “I love You”
Kasih sayang mestilah diungkapkan. Frieda menyarankan para orangtua untuk mengungkapkan kasih sayang dengan kata-kata seperti I love you, belaian, pelukan, ciuman, tulisan “ayah/ibu sayang kamu,” atau gambar bunga atau hati.

Komunikasi dengan tepat
Saat berbicara dengan anak, orangtua harus melakukan kontak mata dengan mereka. Bila ingin memberikan perintah, berikan sespesifik mungkin. Perintah dengan arti yang sangat umum akan membingungkan anak. Hindarkan pula membentak, mengomel, berteriak, atau berceramah panjang lebar kepada anak.

Selesaikan masalah saat Anda “dingin”
Bila ada masalah, hendaknya tidak diselesaikan saat Anda sedang marah. Bila hal ini dilakukan justru akan memperburuk keadaan. Biasanya, saat marah kontrol diri Anda cenderung lebih rendah, sehingga sangat mungkin Anda melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diharapkan dapat ditiru anak. Bisa pula, pada saat itu keluar kata-kata yang akan menyakitkan dan membekas pada anak.
Saat Anda marah, Anda juga perlu time out untuk menenangkan diri. Tidak ada orangtua yang sempurna. Yang penting untuk menjadi orangtua efektif adalah apa yang Anda lakukan sejalan dengan waktu.

Begitu kali yaaa..., PuangAyahbundaku, sayangku, hehehe...maaf sekedar mengingatkan. Kali-kali aja 'kita' lupa.

Wassalam

Jumat, 04 April 2008

Fieldwork Program...

PuangAyah yang mana ayoooo....
Summer 2003-Gowa Regency, South Sulawesi, Indonesia. Ini bareng teman2 dari berbagai negara. Amerika, Jepang, Filipina, dan Singapura.
Fieldwork is an endeavor to travel an unknown path. To reach the final destination, the fieldworker collects many pieces of information and investigates what they mean. The compass is the fieldworker's sensibility and reason. There is no shortcut or fast track.
Another aspect of fieldwork is to immerse oneself in relationships with others. People in front of you are not simple objectives of research. The longer you stay in a location, the closer you become to them. "How do I relate to my host family, their neighbors, village officials or extension workers?" "How do I live in these relationships?" Fieldwork gives us many chances to think about these fundamental questions.

Senin, 03 Maret 2008

Kamis, 28 Februari 2008

Di Kereta

KANG SEJO MELIHAT TUHAN

(Kutipan tulisan menarik nih buat refleksi...)

Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidakIslami.

Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi.

Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat …

Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak
banyak itu saya amalkan.

“Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?” kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.

Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut “raja.” Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, “Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.”

Ini tentu berkat ke-”raja”-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra.

Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: “Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah tidur …” Cuma itu.

“Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana,” katanya, sambil memijit saya.

Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender. Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang, “Zikir Duh, Gusti …” Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti … itu. Satu tapi jelas di tangan.
“Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?” tanya saya.
“Tidak saya hitung.”
“Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu,” kata saya
“Monggo mawon (ya, terserah saja),” jawabnya. “Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan.”
“Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang,” saya memuji.
“Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid.” Dia lalu ketawa.

Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.
‘Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?”
“Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga,” katanya.
“Ayat menyebutkan itu, Kang.”
“Monggo mawon. Saya tidak tahu.”

Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.
“Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?”
“Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain …”
“Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan.”

Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori, ia menyebut, “Duh, Gusti, yang tak pernah tidur …” Pemberi zakat itu, entah bagaimana,
ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf.
“Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram”? tanya saya.
“Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali.”
“Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?”
“Gusti Allah ora sare, Mas,” jawabnya.

Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus.

Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991

InsyAllah Besok Aku 4 Bulan


Alhamdulillah....